OPINI - Nasdem, PKS dan Demokrat membentuk Koalisi Perubahan Untuk Persatuan (KPP). Diawali dengan deklarasi Nasdem, lalu PKS, kemudian Demokrat pada akhirnya ikut bergabung.
Nasdem, partai yang menjadi inisiator terbentuknya KPP mendorong tiga parpol pengusung untuk deklarasi bersama. Namun, urung dilakukan karena Demokrat mensyaratkan deklarasi harus sudah ada pasangan Anies Baswedan. Akhirnya, Nasdem pun deklarasi sendiri di GBK dengan tema Apel Siaga.
Ketiga partai ini, Nasdem, PKS dan Demokrat membentuk tim yang diberi nama tim 8. Tim 8 yang dijuru bicarai oleh Sudirman Said ini bertugas mengantar Anies Baswedan sampai ke KPU di hari pendaftaran oktober nanti.
Ketika didaftarkan ke KPU, siapa yang akan menjadi pasangan Anies Baswedan? Ini yang selalu menarik dan menjadi perhatian publik.
Baca juga:
Ingin Jadi Presiden, Ini Strateginya!
|
Tiga parpol yang bergabung di KPP sepakat, soal cawapres diserahkan kepada Anies Baswedan. Dan kamis kemarin, Anies Baswedan dikabarkan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, ketum PKB. Mendengar informasi ini, setelah melakukan klarifikasi yang dirasa cukup, Demokrat marah besar. Sejumlah petinggi Demokrat menghujat Anies Baswedan. Bahkan ada yang sudah menurunkan baliho yang bergambar foto Anies Baswedan - AHY.
Kenapa demokrat harus marah? Bukankah belum ada pengumuman resmi bahwa Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin? Kalau toh benar Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin, bukankah penentuan cawapres diserahkan sepenuhnya kepada Anies Baswedan? Anies Baswedan diberi hak untuk memilih cawapresnya sendiri.
Baca juga:
Tony Rosyid: Plus Minus NU Dukung Anies
|
Kemarahan Demokrat seolah membongkar kotak pandora yang selama tersimpan rapat. Kemarahan ini membuka fakta yang selama ini jadi spekulasi publik bahwa: "Demokrat siap mengusung Anies Baswedan kalau AHY jadi cawapresnya". Jika AHY tidak jadi cawapres, Demokrat akan hengkang dari KPP.
Spekulasi publik mulai kebuka hari kamis, 31 Agustus kemarin. Demokrat marah ketika mendengar kabar Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar. Banyak kader partai secara spontan menyerang dan mendiskreditkan Anies.
Publik bertanya-tanya: apa salah Anies? Anies diberi mandat oleh tiga partai untuk menentukan cawapresnya. Ketika cawapres sudah ditentukan, kenapa Anies disalahkan oleh Demokrat? Kalau begitu, penyerahan otoritas untuk menentukan cawapres kepada Anies itu gak serius dong...
Publik baru tahu, kenapa Demokrat tidak mau KPP deklarasi Anies Baswedan sebagai capres tanpa ada pasangannya. Rupanya memang Demokrat hanya mau deklarasi kalau pasangan Anies Baswedan itu adalah AHY. Dideklarasikan secara bersamaan. Ini sah-sah saja dalam politik. Daya tawar akan selalu bergantung pada kekuatan yang dimiliki.
Itulah politik. Panggung depan tidak selalu sama dengan panggung belakang. Panggung belakang lebih dinamis, dan pada waktunya akan terbuka dan terbaca publik ketika muncul peristiwa politik.
Demokrat punya hak untuk mengunci Anies Baswedan: siap ikut mengusung kalau Anies Baswedan menggandeng AHY sebagai cawapresnya. Karena memang, tanpa Demokrat KPP tidak cukup syarat mengsung Anies Baswedan. Di sini, Demokrat merasa dalam posisi penentu. Demokrat pegang kartu truf. Punya daya tawar tinggi untuk dimainkan.
KPP, terutama Nasdem merasa tidak nyaman dengan kuncian Demokrat. Terutama sebagai partai yang paling awal deklarasi Anies Baswedan dan mengambil semua risikonya. Nasdem gerah terhadap cara Demokrat menyandera KPP.
Nasdem merasa telah berkorban semuanya. Menterinya ditersangkakan dan dicopot. Bisnis ketum Nasdem dihancurkan. Tv milik ketum kabarnya harus mem-PHK separoh dari karyawannya karena terancam bangkrut. Semua risiko ini dihadapi oleh Nasdem sendirian sebagai konsekuensi mengusung Anies Baswedan. Lalu muncul Demokrat sebagai pendatang terakhir mengunci koalisii.
"Kalau Demokrat bisa mengunci, emang Nasdem tidak bisa melakukan hal yang sama?" Kata orang Nasdem. "Kalau Anies dianggap tidak bisa maju kalau Demokrat tidak dukung, itu pemikiran yang keliru. Karena akan selalu ada partai yang memungkinkan bergabung untuk mengusung Anies", lanjutnya.
Nasdem dan Demokrat bahkan seringkali bersitegang. Adu argumen dan saling sindir di publik antara Nasdem dan Demokrat pun tidak terhindarkan. Dan kamis kemarin, di penghukung bulan Agustus, Nasdem membuktikan ucapannya bahwa "Demokrat tidak bisa mengunci Anies Baswedan dan KPP". Masuknya PKB yang didukung oleh Nasdem dan PKS membuka kuncian dan membuyarkan mimpi Demokrat memasangkan Anies-AHY.
Kabar yang juga beredar, Demokrat, melalui elitnya juga berkomunikasi intens dengan salah satu kandidat capres. Deal-deal sudah matang dibicarakan jika KPP tidak mengusung Anies-AHY. Ini boleh jadi adalah langkah antisipasi yang dilakukan Demokrat jika nantinya harus keluar dari KPP karena tidak mengusung AHY sebagai cawapres. Ini hal biasa dan wajar dalam politik. Menjadi tidak wajar kalau diikuti dengan kemarahan yang berlebihan. Justru akan dilihat oleh publik sebagai sikap politik yang tidak matang. Ini akan merugikan Demokrat itu sendiri.
Dalam politik, ada plan A, plan B dan plan C. Plan A tidak bisa, ya beralih ke plan B. Plan B gak bisa, beralih ke plan C. Begitu juga seterusnya. Jika sudah disiapkan plan-plannya, maka tidak perlu ada sikap cengeng dalam berpolitik. Di sinilah seninya mengelola daya tawar. Itulah politik.
Kalkulasi politik, Demokrat akan lebih diuntungkan jika tetap berada di dalam KPP. Demokrat bisa menaikkan daya tawar sebagai anggota koalisi. Daya tawar ini belum tentu Demokrat dapatkan ketika bergabung ke koalisi lainnya sebagai pendatang baru. Apalagi, pasangan Anies-Muhaimin, jika ini benar-benar terwujud, peluang menangnya jauh lebih besar. Basis PKB di Jatim dan Jateng yang selama ini menjadi daerah gersang bagi Anies Baswedan akan subur kembali untuk mendulang suara Anies Baswedan.
Malah ada yang siap-siap tasyakuran ketika pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar diumumkan. Alasannya: karena kemenangan pasangan ini sudah di depan mata.
Jakarta, 1 Seprember 2023
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa